Selasa, 23 Oktober 2012

GIG INFO :
PESTA BINTANG COKLAT
Minggu, 28 Oktober 2012
Lapangan Gasibu Bandung

/RIF

BURGERKILL
DON LEGO
FORGOTTEN
OUTRIGHT
BOYS OF ROCK

Mulai Jam 4 Sore - Selesai
HTM : Rp 10.000;
( Bonus 1 Bungkus Rokok )

Tiket Box Mulai Besok :
- HELLPRINT Official
c/o : Bewox - 085720826190

- ROCK N REBEL
- DARK CASTLE
- CHRONIC ROCK
- SURGA DISTRO
- RIOTIC
- REMAINS
- BURSA KASET DS
- SERAK Inc.
- MAMPRANG ATTACK
- DESTRUCTION
- ASEP MORGOTH - 085723662666
- BEDOG CEPOT - Palaguna
- BEDOG CEPOT - Ujung Berung
- AESTHETIC - Kolmas.Cimahi
- PIECES - Ujung Berung
- PIECES - Cimahi
- RSJ - Banjaran
- BUPER - Banjaran
- ROTTENSOUL - Banjaran
- SOULNOISE - Cililin
- BABAUNG - Batujajar
- FICTION SHOP - Jatinangor
Serigala Malam adalah sebuah band Toughguy Hardcore ala  New York yang berasal dari kota gudeg Jogja. Band ini belum bisa dibilang lama karena mereka terbentuk pada awal tahun 2009  tapi perjalanan mereka sudah terbilang sangat mantap. Mereka termasuk salah satu potensi besar yang lahir dari YKHC. Di beberapa kesempatan (melalui beberapa media) mereka sering menggunakan jargon semacam “Negative Hardcore”. Namun rasanya primitif sekali kalau pertemanan hanya dipisahkan oleh jargon-jargon semacam itu. Itu sebuah pilihan, dan mereka memilih itu. Jadi, it’s no problem at all. Kini band yang beranggotakan Komeng pada vokal, Krisna pada gitar, Niko pada drum, Jiong pada bass dan Mario pada gitar sedang mempersiapkan album kedua nya dibawah label Halang Rintang Records. Dan ini merupakan kontribusi tersendiri bagi scene hardcore tanah air, YKHC khususnya. Kita tunggu saja

Senin, 22 Oktober 2012

Biografi dan Profile Band Hardcore Take a Stand - juga yang sempat dirasakan Take A Stand. Selama 12 tahun bersama, mereka pernah disergap rasa jenuh. Tak heran bila dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir, band oldschool kugiran ini dikabarkan hendak bubar. “Ya, kami memang sempat kepikiran untuk mengakhiri kebersamaan dan eksistensi Take A Stand. Salah satu alasannya, kami sudah merasa jenuh setelah 12 tahun bersama. Selain itu, masing-masing personel kini telah menemukan dunia lain di luar maen band dan skateboard,” tutur Ametz, sang vokalis. “Tapi, alhamdulillah, akhirnya semua sepakat untuk tidak menempuh jalan itu,” tambah Ametz.
Dan, sebuah album dokumentasi perjalanan mereka selama 12 tahun yang dirilis pada 8 Mei 2011 adalah jawaban atas kabar miring di atas. Album ini, menurut Ametz, berisi perjalanan Take A Stand. Seperti sebuah novel traveloug yang di dalamnya memuat sejumlah lagu yang merepresentasikan fragmen kiprah mereka dari waktu ke waktu. Kebanyakan lagu diambil dari album yang sempat kami rilis, baik album pribadi Take A Stand maupun kompilasi. Tapi, mereka tidak lupa menyelipkan lagu baru. “Semula Take A Stand hanya akan merilis sebuah singel. Bahkan kami sudah merancang sebuah gigs untuk merilis lagu tersebut. Namun, akhirnya rencana itu berubah dan jadilah album dokumentasi ini,” ujar Ametz lagi.
Selain jawaban atas sas-sus yang menyebut mereka bakal bubar, album dokumentasi itu sekaligus juga cara mereka membayar kesalahan selama ini. Ametz mengaku, selama ini Take A Stand terlalu cuek dalam urusan menyusun dokumentasi. “Ketika manggung, kami tak pernah peduli apakah ada orang yang memotret atau merekam dengan video. Sebab, bagi kami manggung adalah momen untuk melepas keringat dan berekspresi. Karena itulah dokumentasi foto dan video kami sangat sedikit,” akunya.
Sayangnya, Ametz memberikan sinyal yang kurang baik ketika ditanya rencana Take A Stand setelah album dokumentasi dirilis. “Kami mungkin akan aktivitas bermusik. Tapi, saya tegaskan sekali lagi, Take A Stand tidak bubar dan tidak akan pernah bubar,” cetus Ametz.
Biografi dan Profile Band Hardcore Under 18 – Sejak dicetuskan pada pertengahan 1997, Tepeng (eks Stinky Mouth), Budrexxx (eks Hamster), Seeon (eks Burning All System dan Flip On), Iev (eks Black T-Shirt dan Tengik), serta Joko Big (eks As One, United Youth, dan Point of View), telah bersepakat memilih oldscholl hardcore sebagai katarsis. Dan, setelah 14 tahun berlalu, mereka tetap memainkan apa yang mereka pilih ketika kali pertama membangun Under 18. Maka tak berlebihan bila sekarang mereka layak menyandang status sebagai salah satu band yang punya pengaruh di scene Bandung Underground.
Mendengarkan lagu mereka, kita serasa hidup di era 90-an ketika wabah NYHC tengah menjangkiti anak muda mundial. Dan seluruh personel Under 18 tidak menampik sama sekali bila sound lagu-lagu mereka dianggap sarat dengan karakter itu. Ada resam yang sangat kental dari sang legenda NYHC, Warzone.
“Warzone adalah inspirasi terbesar yang memengaruhi musik Under 18. Dan bagi kami, Raybeez (vokalis Warzone, red) ibarat seorang lord,” tutur Andri Budrex, basis Under 18.
Tapi, mereka tak mau terbuai dengan pengaruh Warzone. Di tangan Under 18, pengaruh NYHC direkonstruksi ulang sedemikian rupa sambil diselipi substansi lokal. Jadilah musik Under 18 seperti sekarang.
Empat belas tahun jelas bukan waktu sebentar untuk memegang komitmen mempertahankan persepsi yang sama dalam sebuah wadah bernama Under 18. “Jujur saja, kami kadang dihinggapi rasa lelah dan jenuh. Tapi, alhamdulillah kami bisa mengatasi semuanya. Dan semua ini tak lepas dari support teman-teman di scene Bandung Underground,” imbuh Budrex.
Bicara soal Under 18 adalah bicara soal sebuah band yang matang karena ditempa jam terbang. Matang di atas panggung. Bayangkan saja, personel band ini sudah mulai bermusik saat berusia rata-rata 15-16 tahun.
Sebagai bentuk terima kasih atas pencapaian mereka selama ini, Under 18 tak pernah lelah menebar pesan akan pentingnya saling dukung di antara keluarga besar Bandung Underground. Simaklah lagu Bandung Brotherhood atau Loyalitas.
Satu lagi band bergenre Hardcore yang menurut saya cukup berkualitas, langsung aja. Outright adalah band asal Bandung yang bergenre HARDCORE. Beranggotakan 4 personil :
-HARDY 'MARKONYANK' - LOW SCREAMING TRUTH

-BHARATA 'BARBAR' - SIXX WIRED DESTRUCTO

-IRVAN 'ASUY' - FOUR LOW ATTACK
-RYAN 'PARTOZ' - GROOVE BEATER MACHINE

Mereka sendiri sudah memiliki 1 album berjudul 'HARDCORE STRIKES BACK' yang memuat 12 lagu :
1.SUPER GROOVE POWER CHORDS
2.NEVER GIVE UP
3.MY TRUE
4.TO THE STRAIGHT
5.HARDCORE STRIKES BACK
6.REFUSE
7.DESPERATE (FEAT BUCEX 'THE CRUEL')
8.REVOLT
9.SOLUTION OF REVOLUTION
10.STRONGER
11.FUCKIN LIAR
12.TO THE STRAIGHT (EDZ REMIX)

Dengan Hits 'Super Groove Power Chords' menceritakan tentang band Outright sendiri yang masih bertahan di jalurnya, hardcore dan tidak mengikuti pasar.
Album pertama mereka yang pertama ini seperti menegaskan kepada orang-orang bahwa ada genre hardcore selain metal, death metal dan screamo yang lebih populer saat itu.
Band yang awalnya membawakan lagu-lagu Ryker, Hatebreed dan Biohazard ini tengah mempersiapkan materi untuk album kedua mereka.
Untuk tema album kedua, mereka masih seputar kehidupan sehari-hari, musiknya tentunya lebih groove dan jauh lebih keren dari album sebelumnya karena di album ini mereka banyak dibantu musisi-musisi yang cukup kompeten dan beberapa orang sound enginer yang kompeten.
Ada beberapa
single yang mereka buat, Broken Trust dan Bloody Board Destruction, itu materi untuk album kedua dan itu sudah bisa didengarkan di MySpace.com
Alasan mereka memilih aliran hardcore adalah karena sesuai dengan kehidupan nyata, lebih real, baik itu musiknya, liriknya, lebih melekat dengan personil outright sendiri. Liriknya yang straight to the point, cocok dengan mereka.
Outright memiliki banyak sumber pengaruh musik, misalnya Asuy awalnya sering mendengarkan
European hardcore kaya Ryker, kalau yang lain lebih banyak mendengarkan U.S hardcore. Selain itu juga mereka terpengaruh oleh Pantera, Black Stone Cherry, band-band southern, dan untuk band lokalnya yaitu Puppen. Nirven uga merupakan sumber pengaruh musik yang tidak bermaterikan rock.

Minggu, 21 Oktober 2012

BILLFOLD adalah pop punk hardcore band berasal dari Bandung yang terbentuk di awal tahun 2010. Band ini merupakan sebuah project baru dari Gania Alianda bersama Pam, Anga dan Ferin. Mereka mencoba untuk membuat suasana baru di belantika musik Indonesia, dengan front line wanita di dalamnya. Mencoba memainkan musik hardcore dengan beat punk yang ciamik dan easy listening, mereka menggemari musik-musik poppunk hc amerika seperti daggermouth , set your goal, four years strong dan band band gelombang baru easycore amerika namun tetap mempertahankan set beat punks / hc lama seperti, h20,shelter hingga warzone.

Rabu, 07 September 2011

sejarah underground

SEJARAH

SALAH BESAR JIKA MENGANGGAP BANDUNG UNDERGROUND HANYA SEBUAH SCENE ATAU SUBKULTUR. IA TELAH MENJELMA JADI PENANDA JAMAN KETIKA GAIRAH BERMUSIK DIMANIFESTASIKAN KE DALAM SEMANGAT PEMBERONTAKAN TERHADAP KEMAPANAN, KEBERSAMAAN UNTUK MENGATASI KETERBATASAN, SERTA EKSISTENSI DIRI.

 
BARUDAK Bandung selalu punya cara tersendiri untuk berinteraksi dengan jamannya. Generasi Gito Rollies dan Deddy Stanzah, misalnya, menunjukkan spirit pemberontakan mereka dengan menganut gaya hidup urakan-ugal-ugalan. Sambil, tentu saja, tidak lupa berlaku-pagu via musik. Dan rock ‘n roll dipilih menjadi rel untuk menghela gerbong gejolak jiwa mereka.
Generasi Gito Rollies dikenal sangat badung. Tapi faktanya prestasi mereka dalam bermusik sangat istimewa. Itulah yang menyebabkan kebadungan mereka bisa ditolerir sejarah. Bahkan sejarah malah berbalik menyanjung mereka sebagai figur-figur prestisius.
Lebih-kurang dua dekade setelah era keemasan angkatan Gito Rollies dan Deddy Stanzah berlalu, generasi muda Bandung menganut cara lain dalam menunjukkan eksistensinya. Ketika ruang arusutama didominasi kemestian bernama komodifikasi yang selalu berbaju proyeksi mengejar keuntungan materi semata — sehingga tidak memberi spasi memadai buat spirit lain di luar itu, mereka memilih jalan lain dalam mengekspresikan letupan-letupan liar dalam benak mereka. Letupan-letupan itu awalnya mengecambah secara sendiri-sendiri di titik-titik tertentu. Maka kemudian, tumbuhlah beberapa kantung komunitas. Sekadar menyebut, ada komunitas TU yang biasa nongkrong di Jalan Teuku Umar. Band-band semacam Balcony atau Take A Stand mengerek komunitas ini. Komunitas ini kemudian melahirkan kompilasi historikal bertajuk Brain Baverages.
Ada juga komunitas Balkot yang doyan nangkring di Balai Kota Bandung. Di samping fokus pada musik, mereka ini punya kecenderungan mengakrabi olahraga ekstrem skateboarding. Mungkin ini ada kaitannya dengan saujana Balkot yang memang cukup asoy dijadikan tempat bermain papan luncur. Bahkan di kemudian hari komunitas ini mengidentifikasikan diri sebagai salah satu scene yang meletakkan fondasi subkultur skateboarding di kota kembang.
Sampai kemudian di era mutakhir awal 2000-an, masih di Balkot, muncul pula komunitas lain bernama Kolektif Balkot Jam Lima Sore. Komunitas yang bersulih nama menjadi Balkot Terror Project ini adalah sebuah gerakan kolektif yang dibangun secara sel dengan semangat memelihara kemurnian ideologi bermusik. Di mata mereka, betapa pun arus komodifikasi terhadap scene sudah sedemikian dahsyat dan merongrong idealisme, gelombang komersialisasi tetap harus dilawan dengan segenap upaya (catatan: untuk Kolektif Balkot Jam Lima Sore akan dibahas dalam tulisan khusus).
Semangat D.I.Y (Do It Yourself) pun jadi pilihan. Mereka menggelar gigs atau mengeluarkan rilisan — baik album maupun newsletter — secara permana dan murni swadaya. Gigs digelar dengan cara kolektif, dalam arti setiap band yang main harus urunan untuk sekadar menyewa alat musik dan tempat. Sebuah solusi yang kemudian jadi pilihan ketika minta ijin untuk menggelar acara sepelik mencari jarum di padang ilalang. Sementara rilisan dikemas sesederhana mungkin, nu penting kumaha carana lagu uing bisa didengekeun ku batur. Pola penggandaan CD dengan menggunakan personal komputer pun kerap ditempuh dan lantas dijual dengan harga: ceban!!!
Jangan lupakan pula sekelompok pengusung idealisme dan ideologi punk yang sampai sekarang tetap panceg dina galur berinteraksi dengan sejawatnya di sekitar kawasan perbelanjaan Bandung Indang Plaza (BIP). Jangan pernah menganggap sepele kontribusi mereka dalam meletakkan fondasi Bandung Underground. Salah satu gigs bersejarah bernama Gorong-Gorong Bandung dicetuskan Dadan Ketu, salah seorang peretas komunitas tersebut.
Bukan hanya gigs Gorong-Gorong, Dadan Ketu bersama PI Crew — nama lain dari komunitas BIP — menancapkan pula tonggak lain bernama Bandung’s Burning. Sebuah rilisan berisi kompilasi sejumlah band punk yang mencatat sukses luar biasa. Band-band seperti Jeruji, Runtah, The Bollocks, atau Keparat, harus diakui, terkerek namanya berkat kompilasi yang dirilis menggunakan label Riotic Records itu.
Dan voila… komunitas paling fenomenal tentu saja Ujungberung Rebel. Komunitas ini tumbuh sedemikian rupa jadi kisi-kisi penting harakah musik bawah tanah kota kembang. Tidak hanya komitmen tinggi panceg dina galur memainkan musik-musik ultragaduh, di sana juga ada geliat ekonomi kreatif-kerakyatan mulai dari jualan kaus, tukang sablon, sampai mendirikan perusahan rekaman independen yang sangat marak. Harus kita akui, komunitas inilah yang mencancapkan fondasi, pengaruh, dan kontribusi paling besar terhadap Bandung Underground.
Tak bisa dipungkiri, kantung-kantung komunitas itulah yang menjadi noktah-noktah penyangga dari sebuah fenomena bernama Bandung Underground. Sebuah fenomena peradaban yang gaungnya kini tidak hanya terdengar di ranah nasional, melainkan juga sudah merambah sampai ke mancanegara. Sayangnya, subkultur ini harus menjalani masa-masa paling sulit sejak awal 2008. Tepatnya selepas tragedi AACC yang ditandai meregangnya sebelas orang nyawa dalam acara peluncuran album perdana Beside.
Satu hal penting yang mesti digarisbawahi, betapa pun identik dengan band-band bising, keliru juga jika kita menganggap Bandung Underground melulu dihuni dan dibesarkan oleh band-band punk, hardcore, metal, jeung sajabana. Sejumlah godfather yang meletakkan fondasi Bandung Underground justru tidak memainkan musik metal. Sebut saja Richard Mutter. Bersama Yukie, Bengbeng, dan Trisno di Pas Band, Richard tidak memainkan metal sefrontal yang diperagakan Sonictorment, Forgotten, atau Jasad. Demikian pula dengan Pure Saturday yang sampai saat ini tetap dianggap sebagai salah satu peletak tiang pancang eksistensi Bandung Underground. Ada pula band indiepop klasik seperti Kubik atau Cherry Bombshell.
Meski demikian, kita tidak bisa menyalahkan persepsi khalayak jika Bandung Underground diidentikan dengan band-band bising. Sebab, salah satu momen yang membuat istilah Bandung Underground berkibar kencang seperti sekarang memang berkat imbas kesuksesan sebuah gigs metal bernama Bandung Underground.
KELAHIRAN
Sebuah literatur menyebutkan, istilah underground sudah dipakai di Majalah Aktuil pada 70-an. Istilah itu muncul untuk mendeskripsikan sebuah gaya bermusik dengan memainkan lagu-lagu kencang yang substansinya amat sarat dengan perlawanan terhadap sistem nan mapan. Tentu saja saat itu istilah Bandung Underground belum muncul atau setenar sekarang. Meski demikian, kota kembang tetap mengirimkan wakilnya ke garda depan saat khalayak bicara musik underground. Ada grup bernama Super Kid dan Giant Step, dua band legendaris yang sangat diperhitungkan dalam sejarah rock tanah air. Mereka dianggap ‘gerilyawan’ pengacau patron industri musik tanah air yang saat itu didominasi lagu-lagu pembangkit buluh perindu.
Super Kid dan Giant Step tidak sendirian dalam meletakkan fondasi musik ala bawah tanah. Ada AKA dan SAS dari Surabaya, Terencem dari Solo, sampai grup rock paling legendaris di tanah air, God Bless, yang mengibarkan bendera ibu kota. Dan kita sama sekali tidak bisa memungkiri, merekalah yang meletakkan kisi-kisi subkultur bermusik ala underground. Setidaknya mereka telah mengajak generasi muda untuk memberontak terhadap nilai-nilai kolot yang mengungkung kreativitas.
Beruntunglah, apa yang mereka bangun tidak sampai kehilangan benang merah terhadap generasi setelahnya. Khususnya di Bandung, apa yang sudah diretas The Rollies, Super Kid, atau Giant Step, diteruskan oleh anak-anak muda generasi 90-an. Salah satu embrio terpenting scene Bandung Underground diyakini lahir dari Studio Reverse, yang terletak di daerah Sukasenang. Adalah Richard Mutter dan Helvi, dua figur penting di balik lahirnya Reverse. Studio ini dianggap penting bukan hanya karena menyediakan tempat berlatih buat band-band bising. Reverse memegang peran krusial dalam sejarah Bandung Underground saat mendirikan distro yang menyediakan pernak-pernik musik dari mancanegara. Kaset, CD, kaos, poster, dan lain-lain, tersedia di sana. Dengan cara itu, ibaratnya, Reverse membukakan jalan bagi para scenester untuk bersinggungan dengan dunia luar.
Richard kemudian menindaklanjuti sumbangsih penting buat scene dengan mendirikan Pas Band dan label rekaman independen dengan nama unik, 40.1.24. Pas Band ditahbiskan sebagai grup munggaran di Indonesia yang merilis album secara independen pada 1993. Album mereka bertajuk Four Through The S.A.P mencuri perhatian setiap orang yang punya gendang telinga tebal dan tak heran bila 5000 keping kasetnya tandas diburu orang dalam waktu satu setengah kejap.
Empat tahun kemudian, masih dengan bendera 40.1.24, Richard juga merilis sebuah mahakarya kompilasi yang diberi tajuk Masaindahbangetsekalipisan. Kompilasi ini layak disebut mahakarya bukan hanya karena memuat band-band anjisuranjis-edunsuredun macam Burgerkill dan Puppen, tapi juga menyodorkan sebuah inisiasi kepada publik mundial bahwa aing ge bisa nyieun nu kieu!
Tanpa konsep distribusi yang muluk dan ribet, gaung Four Through The S.A.P dan Masaindahbangetsekalipisan tembus ke mana-mana. Pada waktu bersamaan, sebuah stasiun radio yang tak kalah anjisuranjis-edunsuredun bernama GMR (singkatan dari Generasi Muda Radio), tengah mengibarkan bendera ke angkasa dengan sekencang-kencangnya. Peran Radio GMR sangat krusial sebagai media penyambung antara band dan anak muda bergendang telinga tebal. Inilah radio yang secara konsisten menyediakan frekuensinya untuk disesakki musik-musik bising melulu. Lagu-lagu dari kedua album tersebut nyaris saban hari menderu-deru di frekuensi 104.4 FM.
Ketika spasi buat musik ultragaduh di tempat lain masih sangat dikebiri, GMR dengan lantang memutar lagu-lagu dari band dengan nama-nama asing. Bukan hanya rilisan dari band lokal, tapi juga grup dari luar negeri. Radio inilah yang membuat barudak kota kembang cepat akrab dengan grup seperti Carcass, Benediction, Gorfest, dan sejibun band inspiratif lain. Sebuah kondisi yang tak terjadi di tempat lain. GMR juga punya kepedulian maksimal jadi media publikasi verbal rilisan-rilisan lokal. Bahkan rilisan amatir pun mereka mau memutarkannya (Catatan: tentang GMR akan dibahas khusus pada bagian lain).
SCENE
Di antara sejumlah faktor yang membuat Bandung Underground cepat besar, komunitas adalah faktor yang sangat penting — kalau tidak boleh menyebut paling penting. Merekalah yang menyemai embrio dan memeliharanya agar terus hidup di antara himpitan setumpuk persoalan.
Walaupun dianggap sebagai ikon komersial, pusat pertokoan Bandung Indah Plaza (BIP) ternyata punya peran penting dalam sejarah Bandung Underground. Tempat ini jadi kilometer nol kelahiran sebuah komunitas sangat klasik yang menamakan diri Bandung Death Metal Area alias Badebah. Komunitas ini lahir di tangan para penggila thrash, death metal, dan grindcore. Prokalamator komunitas ini adalah Uwo, vokalis band Funeral asal Sukaasih, Ujungberung. Di samping Funeral, para personel band Jasad dan Necromancy juga secara intens menggerakkan scene ini.
Babedah tumbuh tanpa disekat perbedaan aliran musik, sebab kemudian barudak dari bermacam latar belakang pun turut bergabung. Bendera Badebah makin berkibar setelah dijadikan program siaran di Radio Salam Rama Dwihasta yang bermarkas di Sukaasih, Ujungberung. Di tangan kuartet penyiar Agung-Dinan-Uwo-Iput, program ini mengudara pada rentang 1992 hingga 1993 dan sertamerta jadi primadona. Ukurannya sederhana: 200 sampai 300 pucuk kartu pos mampir ke markas Radio Salah Rama Dwihasta saban pekan. Eusina macem-macem, mulai menta lagu nepi ka nitip salam keur dulur nu lain.
Di tempat berbeda, barudak lain juga membangun komunitas masing-masing atau bergabung dengan komunitas yang sudah terbentuk. Para scenester tidak hanya menjadikan komunitas-komunitas ini sebagai tempat nongkrong. Mereka juga menjadikan komunitas sebagai sarana untuk membangun jejaring dan mengembangkan ide.
Barudak Ujungberung lagi-lagi berada di garda depan. Di sebuah studio musik bernama Palapa, insting bergaul hanya untuk jadi ajang nongkrong pengisi waktu senggang, pelahan-lahan dikoreksi sehingga membuahkan hasil yang lebih produktif. Setelah ritual nongkrong sudah dianggap mentok dan tidak menghasilkan apa-apa, mereka kemudian membentuk Extreme Noise Grinding (ENG). ENG sukses membuka jaringan ke mana-mana, sampai ke luar kota bahkan mancanegara.
ENG membuat konsep berkomunitas jadi lebih terarah. Salah satu sumbangsih terbesar ENG adalah gigs metal yang sangat fenomenal bernama Bandung Berisik. Zine Revograms yang dirilis kali pertama pada Maret 1995 bisa menghajar mata scenester juga berkat ENG. Revograms sangat inspirasional karena jadi zine underground munggaran di tanah air.
Kelebihan ENG ada pada kemampuannya memberdayakan lingkungan. Mereka tidak hanya menempa anggota komunitas dalam hal bagaimana bermusik yang baik. Alhasil, ENG sanggup ngigelan jaman. Scene ini kemudian bersulih rupa jadi Homeless Crew yang sangat identik dengan Ujungberung. Nama Homeless Crew dicetuskan Ivan Scumbag sebagai manifestasi penolakan terhadap (lagi-lagi) kemapanan.
Tahun 1997, sejumlah band yang aktif di Homeless Crew sepakat merilis kompilasi Ujungberung Rebels yang ultrahistorikal di bawah bendera Independen Records. Kompilasi ini tak memuat hal lain kecuali musik ultragaduh dari band-band edan yang di kemudian hari semuanya jadi metalhead. Sedemikian historikalnya Ujungberung Rebels, sehingga tak ada satu pun band yang ikut dalam kompilasi ini yang tidak menjadi legenda. Tak heran bila publik menjadikan kompilasi ini sebagai salah satu relief sejarah terpenting Bandung Underground.
Saking besarnya efek kompilasi Ujungberung Rebels, barudak Homeless Crew pun kadang disebut Ujungberung Rebels. Sampai sekarang, komunitas ini tanpa henti melahirkan band dan musik yang mematikkan.
GIGS
Bandung Underground mencapai puncak kejayaan ketika GOR Saparua secara berkala menggelar gigs. Inilah tempat yang menjadi titik api Bandung Underground. Semangat bermusik yang diusung masing-masing komunitas mengalir dan bermuara ke GOR Saparua. Di sinilah nama-nama angker seperti Puppen, Jasad, Forgotten, Burgerkill, Jeruji, Blind to See, Balcony, Turtle Jr., Koil, dan sederet nama lain, dibaptis jadi wakil generasi terbaik Bandung Underground.
Nonton gigs di GOR Saparua lantas menjadi ritus wajib bagi para scenester. Saban akhir pekan GOR tersebut ibarat muara tempat bertemunya berbagai kepentingan, mulai dari vokalis band yang hendak merentang otot leher, pagawai drum yang gatal ingin menghajar snar sekencang-kencangnya, sampai hasrat penonton yang ingin memeras keringat di dalam GOR Saparua yang ventilasinya teu bisa disebut alus. Dan jangan lupakan satu hal, di sana ada pula geliat ekonomi. Sebab, faktanya sejumlah gigs di GOR Saparua berhasil mengeruk keuntungan materi yang lumayan. Belum lagi kiprah para penjaja makanan dan minuman ringan serta calo tiket.
Yeahhh… Saparua kadung identik dengan Bandung Underground, padahal gigs serupa sebenarnya kerap pula dihelat di tempat lain. Semuanya berawal dari Hullaballo I yang digelar pada 1994. Inilah tombol pelatuk yang memicu pentas-pentas musik underground. Bandung Underground, Gorong-Gorong, Campur Aduk, Bandung Berisik, Boomer Underground, atau Master of Underground, tak akan mudah dilupakan siapa pun yang pernah menyaksikannya. Bayangkan, GOR Saparua yang kapasitasnya tidak seberapa, penuh sesak sampai teu bisa usik saat pentas-pentas tersebut digelar.
Namun saat GOR Saparua semarak dengan gigs edan, di sisi lain terjadi sebuah ironi. Hegemoni band-band seperti Burgerkill atau Puppen (sekadar menyebut nama) atas panggung GOR Saparua, membuat banyak grup kecil tak memperoleh kesempatan memadai untuk mengecap sangarnya beraksi di sana.
Sebagai bentuk perlawanan, kemudian lahirlah pola gigs kolektif di awal 2000-an. Band yang tak kunjung mendapat kesempatan tampil di GOR Saparua, berinisiatif menggelar gigs mandiri. Caranya, setiap band yang mau tampil urunan sejumlah uang. Uang yang terkumpul lalu dijadikan modal untuk menyewa alat dan tempat. Di sana mereka main sepuasnya dan memekikkan kalimat: gigs aing kumaha aing!
Karena kadung mengusung semangat D.I.Y, tiket dijual dengan banderol pikaseurieun. Ada gigs yang menjuat tiket dengan harga dua rebu perak. Dan biasanya tiket dijual tidak terlalu lama. Setelah itu, penonton bisa ngabres bebas asup.
Masa keemasan GOR Saparua langsung menguap saat pemerintah kota tidak lagi memberi ijin menggelar pertunjukkan di sana. Praktis, barudak Bandung pun kesulitan mencari tempat untuk menggelar pentas. Pola gigs kolektif pun kian mendapat angin. Jika sebelumnya menyewa tempat-tempat murah seperti gudang tak terpakai atau garasi mobil rumah seorang kawan, polanya kemudian beralih dengan cara menyewa studio musik. Uangnya lagi-lagi hasil urunan band yang tampil. Gigs semacam ini biasa disebut studio show. Studio Jawara di bilangan Jalan Lengkong Besar hampir tiap pekan merelakan ruangan sempitnya dipakai pogo dan anjrut-ajrutan. Juga Studio Grama di Jalan Cihampelas dan Studio Elang di dekat kawasan Bandara Husen Sastranegara.
Pola gigs kolektif atau studio show semakin jadi pilihan paling realitis setelah meletus Tragedi AACC pada 9 Februari 2008. Sebelas anak muda tewas dalam acara peluncuran album Beside. Inilah titik nadir sejarah gigs Bandung Underground. Untuk beberapa waktu acara musik bising di kota kembang seperti mati suri.
Meski demikian, semangat untuk menggelar acara tak pernah padam hanya gara-gara pemerintah memberlakukan ketentuan ekstra ketat dalam mengeluarkan ijin pagelaran. Setahun berselang, pelahan-lahan sejumlah komunitas mulai bisa menggagas dan menggelar kembali gigs skala besar. Salah satu yang tetap langgeng adalah Death Fest, kendati dalam dua kali pagelaran harus dilaksanakan di kompleks tentara. Bahkan memasuki tahun 2011, gigs metal pelahan-lahan kembali semarak, termasuk bangkitnya Bandung Berisik yang sudah tertidur selama lima tahun.
RILISAN
Ketika hasrat menggelar gigs terbentur bermacam hal, semangat merilis karya musik tetap tumbuh subur. Meski di lain pihak, seperti dikatakan empunya Riotic Record Dadan Ketu, “Ngarilis album band underground mah tong ngarep untung! Ieu mah urusan hate!”.
Dalam hal ini, sekali lagi, kita harus berterima kasih kepada Richard Mutter dengan label 40.1.24-nya yang telah merilis kompilasi Masaindahbangetsekalipisan pada 1993. Inilah rilisan yang menginspirasi siapa pun tanpa kecuali.
Tapi, jangan pernah lupakan kompilasi Injak Balik yang dirilis pada 1997 dalam bentuk piringan piringan hitam oleh label asal Perancis, Tian An Men 89 Records. Popularitasnya memang tidak semenjulang Masaindahbangetsekalipisan atau Ujungberung Rebel, namun rilisan yang hanya dicetak 500 kopi ini layak digolongkan sebagai tonggak sejarah. Injak Balik memuat lagu dari Puppen, Runtah, Jeruji, Piece of Cake, Deadly Ground, Savor of Filth, Turtles Jr., dan All Stupid. Dan yang terpenting, Injak Balik asilnya bisa didengarkan dengan gramafon karena berformat vinyl. Sebuah sensasi luar biasa buat siap pun yang memilikinya!
Tahun 1997, Riotic Records mengeluarkan Bandung’s Burning-Bandung Punk Rock Storm Volume 1 yang menghajar gendang telinga dengan suguhan rawk dari sederet band ikon punk seperti Keparat, Jeruji, Runtah, Rotten to the Core, Turtle Jr., Total Riot, dan The Bollocks. Tiga belas tahun berselang, Bandung’s Burning Volume 2 dirilis. Kali ini dengan semangat perlawanan lebih gigih.
Sebuah kompilasi yang sangat eksklusif karena hanya digandakan seratus keping turut mewarnai generasi pertama Bandung Underground. Album tersebut diberi tajuk Bandung Holocaust, kompilasi sederet band crustcore, dirilis Holocaust Records pada 1997.
Dari kubu indiepop, Fast Forward (FFWD) Records, yang kebetulan milik Helvi, tak mau kalah langkah. Bahkan label ini sudah merintis rilisan band dari luar negeri sejak 1999. The Chinkees dari Amerika, Cerry Orchard (Perancis), dan 800 Cheries, adalah gelombang pertama band dari mancanegara yang albumnya didistribusikan FFWD di pasar lokal. FFWD secara konsisten mempertahankan gayanya sampai sekarang.
Oh ya… bicara soal rilisan, jangan kesampingkan Extreme Soul Productions (ESP). Menggunakan nama ESP Records, label milik Iwan D ini sudah mulai merintis album-album dari band beraliran deathmetal dan sebangsanya sejak 1996. Baik band luar negeri, terlebih lagi grup domestik. Salah satu produk prestisius dari ESP adalah kompilasi band-band ultragaduh bertajuk Brutally Sickness. Sempat tertidur beberapa waktu, Iwan kembali membesut ESP sejak 2009.
Di samping kompilasi, sejak Puppen melepas This Is Not a Puppen EP dan Pas Band merilis Four Through The S.A.P, rilisan album dari band-band lain tak pernah berhenti mengalir. Sampai detik ini. Demikian pula dengan label rekaman, tak kalah semarak dengan kemunculan grup-grup musik anyar. Yang paling mutakhir adalah Rottrevore Records yang gigih menjembatani kinarya grup-grup metal untuk kemudian menjadikannya sebuah produk yang bisa menyelusup ke balik gendang telinga.
ZINE, LITERATUR, KAOS
Jika Reverse dan label 40.1.24 jadi pionir dalam urusan rekaman, maka fondasi penting dalam hal literasi adalah Revograms. Adalah Dinan — vokalis Sonic Torment — yang membidani kelahiran zine ini tahun 1995. Inilah batu pertama budaya literasi Bandung Underground yang menginspirasi terbitnya puluhan, bahkan ratusan, newsletter di kemudian hari.
Jika sekarang orang lebih banyak membicarakan Trolley atau Ripple sebagai bagian penting budaya literasi Bandung Underground, itu karena dua zine ini lahir dalam kemasan aduhai. Berbeda dengan kebanyak zine yang hanya foto kopian. Padahal di luar Trolley atau Ripple, terlalu banyak zine bagus yang sangat berpengaruh. Sebut saja Tigabelas, Membakar Batas, atau Beyond Barbed Wire yang sangat provokatif itu.
Belakangan budaya tulis mulai menapaki undakan lebih baik dengan berdirinya toko-toko buku keren seperti Tobucil, Ultimus, Rumah Buku, dan Omuniuum. Bahkan kemudian muncul pula Minor Books, sebuah penerbitan yang digagas orang-orang gila dengan komitmen gila pula. Satu masterpiece Minor Books adalah buku biografi Ivan Scumbag berjudul Myself: Scumbag Beyond Life and Death karya Kimung yang terbit pada 2007.
Semangat mengekspresikan ghirah bermusik ke dalam bentuk literatur berbanding lurus dengan geliat ekonomi di bidang merchandise band, dalam hal ini kaos. Industri clothing yang tumbuh secara masif membuat band mudah meliris merchandise. Dibanding album musik atau zine, harus diakui, merilis merchandise adalah cara paling pragmatis untuk menyambung napas band itu sendiri.
Pada akhirnya, Bandung Underground memang bukan sekadar musik ultragaduh, rilisan album, zine, atau lain-lain. Lebih dari itu, Bandung Underground adalah lapangan tempat menyiasati hidup yang kadung disumpeki setumpuk sistem yang kadang tidak cocok dengan keinginan ideal kita. Tapi bukankah itu sebuah kesadaran yang tak boleh padam, agar Bandung Underground terus langgeng ti baheula nepi ka ayeuna jeung salawasna! Hail yeahhh!!!